This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Selasa, 10 Februari 2015

KONSEP KECERDASAN JAMAK

KONSEP KECERDASAN JAMAK Multiple intelligence atau dalam tulisan ini disebut dengan kecerdasan jamak adalah berbagai keterampilan dan bakat yang dimiliki siswa untuk menyelesaikan berbagai persoalan dalam pembelajaran (Fleetham, 2006). Gardner menemukan delapan macam kecerdasan jamak, yakni (1) kecerdasan verbal-linguistik, (2) logik- matematis, (3) visual-spatial, (4) musical-rhythmic, (5) bodily-kinestetik, (6) interpersonal, (7) intrapersonal, (8) naturalistik, dan kecerdasan eksistensial (spiritual). 1. Kecerdasan Linguistik Kecerdasan linguistik adalah kemampuan untuk menggunakan bahasa-bahasa termasuk bahasa ibu dan mungkin bahasa-bahasa asing untuk mengekspresikan apa yang ada di dalam pikiran dan memahami orang lain (Baum, Viens, dan Slatin, 2005). Kecerdasan linguistik disebut juga kecerdasan verbal karena mencakup kemampuan untuk mengekspresikan diri secara lisan dan tertulis, serta kemampuan untuk menguasai bahasa asing (McKenzie, 2005). 2. Kecerdasan Logis-matematis Kecerdasan matematika adalah kemampuan yang berkenaan dengan rangkaian alasan, mengenal pola-pola dan aturan. Kecerdasan ini merujuk pada kemampuan untuk mengekplorasi pola-pola, kategori-kategori dan hubungan dengan memanipulasi objek atau simbol untuk melakukan percobaan dengan cara yang terkontrol dan teratur (Kezar, 2001). Kecerdasan matematika disebut juga kecerdasan logika dan penalaran karena merupakan dasar dalam memecahkan masalah dengan memahami prinsip-prisip yang mendasari sistem kausal atau dapat memanipulasi bilangan, kuantitas dan operasi. Anak-anak yang memiliki kecerdasan logika matematika yang tinggi sangat menyukai bermain dengan bilangan dan menghitung, suka untuk diatur, baik dalam problem solving, mengenal pola-pola, menyukai permainan matematika, suka melakukan percobaan dengan cara yang logis, sangat teratur dalam tulis tangan, mempunyai kemampuan untuk berpikir abstrak, suka komputer, suka teka-teki, selalu ingin mengetahui bagaimana sesuatu itu berjalan, terarah dalam melakukan kegiatan yang berdasarkan aturan, tertarik pada pernyataan logis, suka mengumpulkan dan mengklasifikasi sesuatu, suka menyelesaikan berbagai persoalan yang membutuhkan penyelesaian yang logis, merasa lebih nyaman ketika sesuatu telah diukur, dibuat kategori, dianalisis, atau dihitung dan dijumlahkan, berpikir dengan konsep yang jelas, abstrak, tanpa kata-kata dan gambar. 3. Kecerdasan Visual-spasial Kecerdasan visual-spasial merupakan kecerdasan yang dikaitkan dengan bakat seni, khususnya seni lukis dan seni arsitektur. Kecerdasan Visual-Spasial atau kecerdasan gambar atau kecerdasan pandang ruang didefinisikan sebagai kemampuan mempresepsi dunia visual-spasial secara akurat serta menstranformasikan persepsi visual-spasial tersebut dalam berbagai bentuk. Kemampuan berpikir visual-spasial merupakan kemampuan berpikir dalam bentuk visualisasi, gambar dan bentuk tiga dimensi (Sonawatand Gogri, 2008). 4. Kecerdasan Bodily-Kinestetik Kecerdasan bodily-kinestetik adalah kemampuan untuk menggunakan seluruh tubuh dalam mengekspresikan ide, perasaan, dan menggunakan tangan untuk menghasilkan atau mentransformasi sesuatu. Kecerdasan ini mencakup keterampilan khusus seperti, koordinasi, keseimbangan, ketangkasan, kekuatan, fleksibelitas dan kecapatan. Kecerdasan ini juga meliputi keterampilan untuk mengontrol gerakan-gerakan tubuh dan kemampuan untuk memanipulasi objek (Sonawat and Gogri, 2008). Komponen inti dari kecerdasan kinestetik adalah kemampuan-kemampuan fisik yang spesifik, seperti koordinasi, keseimbangan, keterampilan, kekuatan, kelenturan, dan kecapatan maupun kemampuan menerima atau merangsang dan hal yang berkaitan dengan sentuhan. Kemampuan ini juga merupakan kemampuan motorik halus, kepekaan sentuhan, daya tahan dan refleks (Richey, 2007). Kemampuan dari kecerdasan kinestetik bertumpu pada kemampuan yang tinggi untuk mengendalikan gerak tubuh dan keterampilan yang tinggi untuk menangani benda. Kecerdasan kinestetik memungkinkan manusia membangun hubungan yang penting antara pikiran dan tubuh, dengan demikian memungkinkan tubuh untuk memanipulasi objek dan menciptakan gerakan. 5. Kecerdasan Musik Kecerdasan musik adalah kapasitas berpikir dalam musik untuk mampu mendengarkan pola-pola dan mengenal serta mungkin memanipulasinya. Orang yang mempunyai kecerdasan musik yang kuat tidak saja mengingat musik dengan mudah, mereka tidak dapat keluar dari pemikiran musik dan selalu hadir dimana-mana. Kecerdasan musikal didefinisikan sebagai kemampuan menangani bentuk musik yang meliputi (1) kemampuan mempersepsi bentuk musikal seperti menangkap atau menikmati musik dan bunyi-bunyi berpola nada, (2) kemampuan membedakan bentuk musik, seperti membedakan dan membandingkan ciri bunyi musik, suara dan alat musik, (3) Kemampuan mengubah bentuk musik, seperti mencipta dan memversikan musik, dan (4) kemampuan mengekspresikan bentuk musik seperti bernyanyi, bersenandung dan bersiul-siaul (Snyder, 1997). 6. Kecerdasan Intrapersonal Kecerdasan Intrapersonal dapat didefinisikan sebagai kemampuan memahami diri sendiri dan bertindak berdasarkan pemahaman tersebut. Komponen inti dari Kecerdasan Intrapersonal kemampuan memahami diri yang akurat meliputi kekuatan dan keterbatasan diri, kecerdasan akan suasana hati, maksud, motivasi, temperamen dan keinginan, serta kemampuan berdisiplin diri, memahami dan menghargai diri. Kemampuan menghargai diri juga berarti mengetahui siapa dirinya, apa yang dapat dan ingin dilakukan, bagaimana reaksi diri terhadap situasi tertentu, dan menyikapinya, serta kemampuan mengarahkan dan mengintrospeksi diri. Kecerdasan Intrapersonal merupakan kecerdasan dunia batin, kecerdasan yang bersumber pada pemahaman diri secara menyeluruh guna menghadapi, merencanakan, dan memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi. Anak yang lebih menonjol kecerdasan intrapersonalnya dapat berkembang menjadi ahli terapi, penyair, motivator, psikolog, filosof, pemimpin spiritual, dan semacamnya jika mendapat bimbingan dan pendidikan yang layak. 7. Kecerdasan Interpersonal Kecerdasan interpersonal adalah kemampuan memahami memahami pikiran, sikap, dan prilaku orang lain (Gardner & Checkley, 1997: 12). Kecerdasan ini merupakan kecerdasan dengan indikator–indikator yang menyenangkan bagi orang lain. Sikap-sikap yang ditunjukan oleh anak dalam Kecerdasan Interpersonal sangat menyejukan dan penuh kedamaian. Oleh karena itu, kecerdasan Interpersonal dapat didefinisikan sebagai kemampuan mempersepsi dan membedakan suasana hati, maksud, motivasi dan keinginan orang lain, serta kemampuan memberikan respons secara tepat terhadap suasana hati, temperamen, motivasi dan keinginan orang lain. Dengan memiliki kecerdasan interpersonal seorang anak dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain, menangkap maksud dan motivasi orang lain bertindak sesuatu, serta mampu memberikan tanggapan yang tepat sehingga orang lain merasa nyaman. Komponen inti Kecerdasan Interpersonal adalah kemampuan mencerna dan menanggapi dengan tepat berbagai suasana hati, maksud, motivasi, perasaan dan keinginan orang lain di samping kemampuan untuk melakukan kerja sama. Sedangkan, komponen lainnya adalah kepekaan dan kemampuan menangkap perbedaan yang sangat halus terhadap maksud, motivasi, suasana hati, perasaan dan gagasan orang lain. Mereka yang mempunyai kecerdasan Interpersonal sangat memperhatikan orang lain, memiliki kepekaan yang tinggi terhadap ekspresi wajah, suara dan gerak isyarat. Dengan kata lain, Kecerdasan Interpersonal melibatkan banyak kecakapan, yakni kemampuan berempati pada orang lain, kemampuan mengorganisasi sekelompok orang menuju sesuatu tujuan bersama, kemampuan mengenali dan membaca pikiran orang lain, kemampuan berteman atau menjalin kontak. 8. Kecerdasan Naturalis Kecerdasan naturalis adalah kemampuan dalam melakukan kategorisasi dan membuat hierarki terhadap keadaan organisma seperti tumbuh-tumbuhan, binatang, dan alam. Salah satu satu ciri yang ada pada anak-anak yang kuat dalam kecerdasan naturalis adalah kesenangan mereka pada alam, binatang, misalnya akan berani mendekati, memegang, mengelus, bahkan memiliki naluri untuk memelihara. Kecerdasan Naturalis didefinisikan sebagai keahlian mengenali dan mengatagori spesies, baik flora maupun fauna, di lingkungan sekitar, dan kemampuannya mengolah dan memanfaatkan alam, serta melestarikannya. Komponen inti kecerdasan naturalis adalah kepekaan terhadap alam (flora, fauna, formasi awan, gunung-gunung), keahlian membedakan anggota-anggota suatu spesies, mengenali eksistensi spesies lain, dan memetakan hubungan antara beberapa spesies baik secara formal maupun informal. Memelihara alam dan bahkan menjadi bagian dari alam itu sendiri seperti mengunjungi tempat-tempat yang banyak dihuni binatang, dan mampu mengetahui hubungan antara lingkungan dan alam merupakan suatu kecerdasan yang tinggi mengingat tidak semua orang dapat melakukannya dengan mudah (Bowles, 2008). 9. Kecerdasan Eksistensial atau Spiritual Kecerdasan spiritual diyakini sebagai kecerdasan yang paling esensial dalam kehidupan manusia dibandingkan dengan berbagai jenis kecerdasan lain seperti kecerdasan intelektual, emosional, dan kecerdasan sosial. Kecerdasan spiritual itu bersandar pada hati dan terilhami sehingga jika seseorang memiliki kecerdasan spiritual, maka segala sesuatu yang dilakukan akan berakhir dengan sesuatu yang menyenangkan (Zohar dan Marshall, 2001). Segala sesuatu harus selalu diolah dan diputuskan melalui pertimbangan yang dalam yang terbentuk dengan menghadirkan pertimbangan hati nurani. Kata spiritual memiliki akar kata spirit yang berarti roh. Kata ini berasal dari bahasa Latin, spiritus, yang berarti napas. Roh bisa diartikan sebagai energi kehidupan, yang membuat manusia dapat hidup, bernapas dan bergerak (Mitrafm, 2009). Spiritual berarti pula segala sesuatu di luar fisik, termasuk pikiran, perasaan, dan karakter atau dikenal dengan kodrat (Dewantoro, 1977). Dengan demikian, kecerdasan spiritual berarti kemampuan seseorang untuk dapat mengenal dan memahami diri sepenuhnya sebagai makhluk spiritual maupun sebagai bagian dari alam semesta. Kecerdasan Spiritual melibatkan seperangkat kemampuan untuk memanfaatkan sumber-sumber spiritual. Istilah spiritualitas merujuk pada kemampuan seseorang untuk mencari, elemen-elemen pengalaman, kesucian, kebermaknaan, kesadaran yang tinggi dan transendensi, untuk menghasilkan produk yang yang bernilai. Jadi, kecerdasan spiritual adalah suatu kecerdasan yang diarahkan untuk menyelesaikan persoalan makna, dan nilai (Painton, 2009).

BERBAGI PENDAPAT (Brainstorming)

SUMBANG PENDAPAT (brainstorming) Pengantar Brainstorming adalah suatu teknik kreativitas kelompok untuk mencoba menemukan solusi terhadap persoalan khusus yang dihadapi dengan mengumpulkan sejumlah paparan ide secara spontan dari masing-masing anggota. Pemaparan ide yang disampaikan oleh anggota dalam suatu kelompok dapat dikumpulkan dan ditulis langsung di papan tulis, program Powerpoint di komputer yang disambung dengan projector, atau dapat menggunakan software inspiration atau kidspiration yang dapat diunduh secara gratis dari Internet. Keunggulan brainstorming adalah dapat menciptakan ide-ide baru, menyelesaiakan masalah, memberi motivasi dan mengembangkan kelompok. Dikatakan memberi motivasi karena melibatkan setiap anggota dalam kelompok dan memberikan kesempatan kepada kelompok untuk bekerja sama. Namun, bukan berarti bahwa brainstorming semata-mata mengembangkan aktivitas secara random (acak), tetapi juga membutuhkan aktivitas terstruktur dan mengikuti pola aturan dan prosedur tertentu. Tujuan Melalui aktivitas pembelajaran brainstorming, peserta didik dapat memiliki kemampuan dan keterampilan untuk: 1. Memaparkan ide yang berhubungan dengan area topik yang dibahas 2. Mengembangkan kreativitas berpikir 3. Menemukan solusi terhadap masalah yang dihadapi Bahan/alat Alat tulis-menulis, pencil, fulpen, buku catatan, kapur/spidol, papan tulis atau komputer, LCD projector, atau software inspiration. Prosedur a. Guru menentukan topik pembahasan yang memerlukan aktivitas brainstorming b. Guru meminta setiap peserta didik mengemukakan ide yang berhubungan dengan komponen-komponen judul, sub-judul atau bagian-bagian yang lebih kecil dari itu c. Guru mencatat atau mengetik setiap kata atau kalimat yang dipaparkan oleh masing-masing peserta didik. d. Guru membuat kategori, menggabungkan, atau memperbaiki kemungkinan adanya kesalahan kata tetapi maksudnya benar oleh peserta didik e. Secara bersama-sama guru dan peserta didik menilai, menganalisis efek atau hasil f. Prioritaskan pilihan / susun daftar kata yang sesuai g. Menyimpulkan dan menentukan aktivitas tindak lanjut.

AKTIVITAS PEMBELAJARAN BERBASIS KECERDASAN JAMAK

AKTIVITAS PEMBELAJARAN BERBASIS KECERDASAN JAMAK Aktivitas pembelajaran merujuk pada sistem pendidikan dalam menfasilitasi peserta didik untuk menjadi agen perubahan melalui pengalaman, pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang dilakukannya sendiri serta memperoleh metode untuk belajar mandiri. Fondasi teori ini didasarkan pada teori Vygotsky tentang cultural historical theory, yang mengatakan bahwa pendidikan membawa dampak pada pengembangan. Dengan demikian, yang dimaksud dengan aktivitas pembelajaran adalah aktivitas atau kegiatan apa saja dari suatu individu yang dikelola dengan maksud untuk memperbaiki keterampilan, pengetahuan dan kompetensi. Teori aktivitas adalah seperangkat prinsip dasar yang merupakan sistem konseptual umum, dan bukan suatu teori yang bersifat prediktif. Prinsip-prinsip dasar teori aktivitas meliputi struktur hirarkis aktivitas, objek-orientedness, internalisasi/eksternalisasi, alat mediasi, dan pengembangan. Prinsip keterarahan objek (jangan dikacaukan dengan istilah pemrograman berorientasi objek) menyatakan bahwa manusia hidup dalam suatu realitas yang obyektif dalam arti luas: segala sesuatu yang dibangun bukan hanya sifat-sifat yang dianggap objektif menurut ilmu alam, melainkan secara sosial/ budaya dilihat juga sebagai sifat yang sama. Teori aktivitas membedakan antara kegiatan internal dan eksternal. Teori Ini menekankan bahwa kegiatan internal tidak dapat dipahami jika mereka dianalisis secara terpisah dari kegiatan eksternal, karena mereka berubah menjadi satu sama lain. Internalisasi adalah transformasi dari kegiatan eksternal ke suatu kegiatan internal. Internalisasi menyediakan sarana bagi orang untuk mencoba potensi interaksi dengan realitas tanpa melakukan manipulasi yang sebenarnya dengan benda nyata (simulasi mental, imajinasi, mempertimbangkan rencana alternatif, dll). Eksternalisasi mengubah aktivitas internal menjadi yang eksternal. Eksternalisasi sering diperlukan ketika sebuah tindakan diinternalisasi perlu diperbaiki. Hal ini juga penting ketika sebuah kolaborasi antara beberapa orang membutuhkan aktivitas yang akan dilakukan secara eksternal untuk dikoordinasikan. Teori aktivitas menekankan bahwa aktivitas manusia dimediasi oleh alat-alat dalam arti luas. Alat diciptakan dan diubah selama pengembangan kegiatan itu sendiri dan terintegrasi bersama budaya tertentu dari pengembangan yang dilakukan. Jadi, penggunaan alat adalah akumulasi dan transmisi pengetahuan sosial. Penggunaan alat mempengaruhi sifat dan perilaku eksternal serta fungsi mental individu. Secara historis, teori aktivitas telah melintasi tiga generasi. Generasi pertama menggunakan pendekatan yang banyak diambil dari konsep Vygotsky tentang mediasi yang dalam hal ini digambarkan dalam bentuk segi tiga. Segi tiga ini merupakan cara di mana Vygotsky membawa bersama artefak budaya dengan tindakan manusia untuk mengangkat dualisme individu/sosial dengan maksud untuk mengkaji perkembangan individu. Generasi kedua difokuskan pada kajian artefak sebagai komponen yang tidak terpisahkan dari fungsi manusia tetapi fokus kajian mediasi diarahkan pada hubungan dengan komponen-komponen lain dari sistem aktivitas. Generasi ketiga diarahkan untuk mengembangkan peralatan konseptual dalam memahami dialog, berbagai perspektif, dan jaringan sistem aktivitas ketika berinteraksi. Dalam berinteraksi perlu memperhatikan keadaan dialog dan keragaman pandangan dalam rangka memperluas kerangka sistem generasi kedua. Pandangan tentang jaringan aktivitas di mana kontradiksi dan ketegangan terjadi dalam suatu definisi tentang motif dan objek aktivitas dapat mengarahkan analisis terhadap kekuatan dan pengontrolan dalam mengembangkan sistem aktivitas. Dalam tulisan ini hanya menggambarkan bagaimana pola kerja system generasi ketiga dalam membentuk aktivitas manusia dalam menciptakan berbagai hasil yang berguna bagi kehidupan masyarakat pada umumnya. Untuk melihat lebih jelas tentang sistem aktivitas dapat digambarkan sebagai berikut. Model Engestrom di atas berguna untuk memahami bagaimana berbagai faktor bekerja sama untuk mempengaruhi suatu aktivitas. Dalam rangka mencapai hasil yang baik perlu memproduksi objek tertentu (misalnya pengalaman, pengetahuan, dan produk-produk fisik) aktivitas manusia dimediasi oleh artefak (alat-alat yang digunakan, dokumen, resep, dll) Aktivitas ini dimediasi juga oleh organisasi, komunitas, masyarakat yang dalam hal ini adalah sekolah. Selain itu, sekolah dapat menggunakan peraturan yang mempengaruhi aktivitas. Subjek bekerja sebagai bagian dari sekolah untuk mencapai objek. Suatu aktivitas yang biasanya juga dilengkapi dengan pembagian kerja.

BERCERITA / DONGENG (Storytelling)

BERCERITA/ MENDONGENG (STORYTELLING) Pengantar Bercerita atau mendongeng adalah menyampaikan peristiwa melalui kata-kata, gambar, atau suara, yang dilakukan dengan improvisasi atau menambah-nambah dengan maksud untuk memperindah jalannya cerita. Selama ini, bercerita dianggap sebagai salah satu bentuk hiburan bagi anak-anak ketika berkunjung ke suatu perpustakaan atau mungkin hanya sekedar untuk mengisi waktu senggang di ruang kelas. Namun, bercerita merupakan aktivitas pembelajaran yang dapat berkontribusi pada kemampuan menyajikan informasi, konsep, dan ide-ide, serta dapat mengintegrasikannya ke dalam tujuan pembelajaran yang dapat disampaikan secara langsung kepada peserta didik. Jika telah terintegrasi ke dalam tujuan pembelajaran, guru dapat mengarahkan peserta didik untuk menyiapkan bahan cerita sebelum pembelajaran berlangsung. Jenis cerita yang disampaikan dapat berupa cerita-cerita yang bersifat humoris, lucu, dan menggelikkan, kisah nyata, cerita sedih, serta yang bersifat akademik. Cara penyajiannya dapat diberikan dalam bentuk cerita pendek atau cerita bersambung. Cerita pendek maksudnya adalah bentuk cerita yang dapat disajikan dalam jangka waktu satu sampai lima menit. Sedangkan cerita bersambung adalah bentuk cerita panjang yang disajikan secara berseri dan berkesinambungan. Biasanya peserta didik yang masih berada di kelas rendah sangat senang didongengkan. Cara penyajiannya dapat dilakukan dengan menggunakan alat peraga berupa dua Boneka yang dipasang di tangan kanan dan kiri kemudian keduanya melakukan dialog untuk menceritakan tentang sesuatu. Boneka juga dapat dihiasi dengan pakaian yang berwarna-warni yang digerakkan dengan mimik sesuai skenario cerita. Sekarang dapat menggunakan buku-buku audio, cerita bergambar serial sandiwara (seperti yang diputar melalui radio), dan kaset-kaset pengajian untuk mata pelajaran bahasa Indonesia, PPKN, dan pendidikan agama Islam. Untuk peserta didik yang berada di kelas tinggi dapat diberikan cerita bersambung yang diangkat dari kisah nyata atau yang diperoleh melalui pengalaman. Namun, sangat lebih baik jika disesuaikan dengan topik pembahasan. Misalnya, “Ragam Kebudayaan Daerah”, yang menjadi pembahasan dalam mata pelajaran bahasa Indonesia untuk kelas IV sekolah dasar. Topik pembahasan ini dapat diarahkan pada cerita-cerita rakyat daerah setempat. Tujuan Melalui aktivitas pembelajaran cerita bersambung, peserta didik dapat: 1. Memahami dan menceritakan isi informasi yang terkait dengan topik pembahasan 2. Mengembangkan rentetan kejadian dalam ide cerita 3. Menyajikan informasi, konsep, dan ide-ide secara akurat dan komprehensif 4. Mengundang perhatian dan motivasi belajar serta bekerja sama dalam membangun unsur-unsur cerita 5. Memerankan tokoh yang terdapat dalam ide cerita. Bahan/alat - Alat tulis-menulis - pensil - fulpen - kertas - penghapus - buku catatan - buku cerita - lembar daftar pertanyaan Prosedur a. Guru membagi kelompok yang terdiri atas kelompok yang membawakan cerita dan beberapa kelompok lain yang menyimak ide cerita b. Guru menentukan topik cerita atau meminta jenis cerita yang diminati peserta didik c. Guru menunjuk beberapa peserta didik yang dapat memerankan tokoh dalam cerita d. Guru membagi naskah cerita bersambung tersebut atau meminta ke pada peserta didik untuk mencari sendiri (jika peserta didik mencari sendiri, sebaiknya tugas tersebut diberikan sebelumnya dan menjelaskan aturan mainnya) e. Peserta didik meringkas dan mengambil intisari cerita yang akan dipaparkan. f. Guru menyediakan daftar pertanyaan yang dapat dijawab oleh peserta didik setelah cerita tersebut disajikan g. Guru memeriksa dan menjelaskan jawaban yang benar.

MENULIS JURNAL (Jaurnal Writing)

MENULIS JURNAL (JOURNAL WRITING) Pengantar Secara sederhana, menulis jurnal adalah suatu bentuk aktivitas menulis secara teratur tentang pengalaman dan pikiran dalam proses pembelajaran. Dengan kata lain bahwa menulis jurnal adalah aktivitas menulis secara berseri yang dilakukan secara terus-menerus untuk merespon pengalaman dan peristiwa pembelajaran (42explore, 2011). Jurnal mencakup gambaran konkrit tentang pengalaman belajar, refleksi perasaan dan emosi, keadaan pemahaman, dan bentuk keterampilan yang mungkin diperoleh dari hasil aktivitas pembelajaran. Suatu jurnal merupakan alat untuk menemukan diri (self-discovery), alat bantu konsentrasi, jendela jiwa, suatu wadah untuk menangkap ide-ide, katup pengaman emosi, wadah untuk menempa bakat menulis, dan merupakan sarana untuk meningkatkan motivasi dan kepercayaan diri (Smith, 2011). Dengan demikian, menulis jurnal adalah proses refleksi sebagai perwujudan pemahaman yang mendalam tentang apa yang telah dipelajari yang dikaitkan dengan kondisi ril yang terjadi dalam masyarakat. Biasanya, jurnal dibuat minimal untuk satu pokok bahasan. Namun banyak juga guru membuatnya untuk tiga pokok bahasan. Hal ini dilakukan untuk memberikan ruang pada peserta didik mengkaji lebih banyak pengalaman dan refleksi sehingga dapat melakukan asimilasi, akomodasi dan bahkan ekuilibrasi. Tujuan Tujuan pelaksanaan aktivitas pembelajaran menulis jurnal adalah untuk : Melatih peserta didik dalam mengaitkan materi pembelajaran dengan kehidupan nyata dalam masyarakat Peserta didik mampu mengonstruksi pikirannya secara kompleks berdasarkan pengalaman yang diperoleh melalui lingkungan Melakukan refleksi sejauh mana peserta didik dapat menguasai materi pelajaran yang diberikan Mengembangkan kreativitas menulis peserta didik Memotivasi peserta didik untuk dapat menghasilkan tulisan yang berguna bagi orang lain. Bahan/alat - Alat tulis-menulis - pencil - fulpen - pensil - penghapus - buku catatan - kertas bergaris - komputer - printer - staples, dan lain-lain. Prosedur a. Guru menentukan topik pembahasan untuk ditulis dalam bentuk jurnal b. Guru menentukan durasi waktu untuk penulisan (jika dilakukan di ruang kelas atau di rumah). c. Peserta didik diminta untuk melakukan refleksi terhadap pengalaman belajar tentang suatu materi pelajaran yang telah diperoleh termasuk pengetahuan, perasaan, dan kemampuan, kemudian menuliskannya d. Peserta didik mengaitkan apa yang dipelajari dengan pengetahuan atau pengalaman sebelumnya e. Peserta didik mengonstruksi pengetahuan baru dari hasil perpaduanan antara pengetahuan yang diperoleh dengan pengalaman sebelumnya, kemudian menuliskannya.

MEMBACA BIOGRAFIS

MEMBACA BIOGRAFI Salah satu cara memahami hakekat manusia dan alam sekitar adalah belajar melalui membaca buku-buku biografi atau memoir. Memahami pengalaman orang lain dalam menghadapi segala tantangan hidup merupakan contoh konkrit yang dapat dijadikan teladan dalam mengatasi kehidupan. Misalnya; belajar bisnis melalui membaca biografi pengusaha, belajar politik melalui memoir politisi, belajar mengelola Negara melalui biografi negarawan, belajar pendidikan melalui biografi pendidik, dan sebagainya. Membaca biografi orang bukan hanya memberi pengetahuan yang mendalam tentang sejarah masa lalu ke pada peserta didik, melainkan juga memberi inspirasi baru untuk merencanakan dan merekayasa masa depan. Selain itu, peserta didik juga dapat membuat biografi dirinya sendiri atau orang lain dengan mengumpulkan sedikit demi sedikit pengalaman hidup yang pernah dialami melalui kumpulan tulisan berseri seperti yang dilakukan dalam filem yang berjudul KAMBING-KAMBING JANTAN, di mana kumpulan-kumpulan tulisan sederhana yang dimuat di weblog, kemudian difilemkan. Membaca biografi dapat diberikan kepada peserta didik pada kelas-kelas rendah dan juga kelas-kelas tinggi tergantung dari jenis biografi yang sesuai dengan pengetahuan peserta didik. Sayangnya, tidak banyak biografi yang tulis dan sesuai benar dengan keadaan peserta didik yang masih berada di kelas rendah pada umumnya. Oleh karena itu, guru dapat menulis biografi sederhana yang dapat dibaca dalam waktu 10 – 20 menit yang ketebalannya berkisar antara 10-20 halaman. Hasil pengamatan penulis terhadap mata pelajaran reading (membaca) pada sekolah-sekolah dasar di kota Tucson Arizona (2003), Cedar Falls Iowa (2004-2007), dan Columbus Ohio (2010) Amerika Serikat menunjukkan bahwa peserta didik yang masih berada di kelas-kelas rendah diharuskan membaca buku-buku komik, cerita, atau biografi sederhana dan melaporkan hasil bacaannya itu baik secara lisan maupun tertulis pada setiap minggu. Sedangkan, bagi peserta didik yang berada di kelas-kelas tinggi seperti di kelas IV, V, dan VI diharusnya membaca komik, cerita, atau buku-buku biografi pada minggu sebelumnya, kemudian merekonstruksi ke dalam bahasanya sendiri pada minggu berikutnya. Sering terjadi guru memberikan lebih dari satu buku untuk dibaca dalam satu minggu dan merekonstruksi ke dalam bahasa sendiri dan dilaporkan, kemudian diperiksa dan dikembalikan kepada peserta didik. Hal inilah yang dapat membangun tradisi baca-tulis kepada peserta didik yang hingga dewasa muncul dalam suatu kebiasaan membaca dan menulis kapan dan di mana pun mereka berada. Kesadaran membaca dan menulis ini pula yang melahirkan generasi-generasi cerdas yang dapat membangun bangsa dan Negaranya secara cerdas pula. Oleh karena itu, buku-buku biografi mulai dari yang mudah sampai pada buku-buku biografi orang-orang terkenal sangat mudah diperoleh baik di dalam perpustakaan sekolah lebih-lebih di took- toko buku terdekat. Tujuan Membaca biografi bagi peserta didik bertujuan untuk: a. Memahami riwayat dan sejarah hidup para tokoh yang hidup pada masa sebelumnya b. Mengonstruksi makna dan mengembangkan pemahaman yang mendalam tentang kehidupan para tokoh terkenal c. Memberikan pengalaman belajar yang berharga bagi peserta didik sehingga dapat mencontoh dan berusaha mengambil pelajaran yang berharga d. Dapat mengimplementasikan pengalaman para tokoh yang dibaca tersebut dalam kehidupan nyata. Bahan/alat - Alat tulis-menulis - pensil - fulpen - kertas - penghapus - buku catatan - buku cerita - computer/laptop - printer - kertas HVS/folio - staples - lapban/isolosi. Prosedur a. Guru menentukan jenis buku biografi atau memoar yang akan dibaca oleh peserta didik (boleh juga peserta didik mencari sendiri) b. Guru menentukan jangka waktu untuk membaca dan melaporkan c. Peserta didik mencari buku biografi yang diminati baik di perpustakaan sekolah, maupun di perpustkaan daerah. d. Peserta didik membaca buku biografi tersebut dan menggarisbawahi hal-hal yang menarik e. Peserta didik mengonstruksi makna yang diangkat dari sisi-sisi penting dari kehidupan tokoh f. Mengaitkan keunggulan-keunggulan para tokoh dengan situasi yang terjadi di lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarakat. g. Peserta didik menulis dan melaporkan hasil bacaannya tentang biografi tokoh.

BERPIKIR KRITIS (Critical Thinking)

BERPIKIR KRITIS (Critical Thinking) Pengantar Berpikir kritis merupakan kemampuan kognitif untuk mengatakan sesuatu dengan penuh keyakinan karena bersandar pada alasan yang logis dan bukti empiris yang kuat. Berpikir kritis adalah proses berpikir sistematis dalam mencari kebenaran dan membangun keyakinan terhadap sesuatu yang dikaji dan ditelaah secara faktual dan realistis. Dalam lingkungan sekolah, Johson (2007: 185) mengatakan secara spesifik bahwa berpikir kritis adalah suatu proses yang terorganisir yang memungkinkan peserta didik mengevalusi fakta, asumsi, logika, dan bahasa yang mendasari pernyataan orang lain. Untuk memahami lebih dalam tentang makna berpikir kritis, berikut ini diturunkan definisi klasik yang menggambarkan hakekat dan karakteristik dari orang yang berpikir kritis. Penulis merujuk pada pandangan John Dewey, Edward Glaser, Robert Ennis, Richard Paul dalam dalam Fisher (2001: 2—5). Pertama, John Dewey melihat berpikir kritis itu pada dasarnya adalah berpikir reflektif, di mana dikatakan bahwa: Critical thinking or reflective thinking is an active, persistent, and careful consideration of a belief or suppose form of knowledge in the light of the grounds which support it and the further conclusions to which it tends. Di sini, John Dewey menekankan bahwa berpikir kritis merupakan proses yang aktif, maksudnya untuk mengontraskan proses berpikir seseorang pada umumnya dalam menerima atau memperoleh informasi dari pihak lain yang cenderung menerima begitu saja secara pasif. Memang, tak dapat dibantah bahwa berpikir kritis pasti melewati proses yang aktif, di mana ketika seseorang memikirkan sesuatu yang ingin dilakukan atau yang hendak dipaparkan, begitu pun ketika ingin mengajukan pertanyaan dan mencari informasi yang relevan dengan objek yang diinginkan. Berpikir kritis juga dipandang sebagai suatu keyakinan yang kuat dan hati-hati dengan maksud untuk mengonstraskan sistem berpikir seseorang yang tidak reflektif atau tanpa melibatkan pemikiran yang komprehensif. Misalnya ketika seseorang begitu cepat sampai kepada suatu kesimpulan atau keputusan yang dangkal dalam berbuat atau bertindak tanpa menelusuri dan mengkaji esensi makna yang terkandung di dalamnya. Memang benar bahwa ketika menyimpulkan sesuatu harus dilakukan dengan cepat dan tepat, tetapi sering tidak diambil secara komprehensif. Namun demikian, yang paling penting dalam pandangan John Dewey adalah apa yang dia sebut sebagai “grounds which support” (dasar pemikiran yang mendukung) sesuatu sehingga dapat disimpulkan. Artinya, dasar pijakan berpikirnya harus didasarkan pada alasan rasional dan implikasinya harus dikaji dari sudut pandang kecenderungannya. Kedua, Edward Glaser mengembangkan pandangannya dengan mengonstruksi pandangan John Dewey, di mana berpikir kritis dipandang sebagai: (1) An attitude of being disposed to consider in a thoughtful way the problems and subjects that come within the range of one’s experience; (2) knowledge of the methods of logical enquiry and reasoning; and (3) some skill in applying those methods. Critical thinking calls for a persistent effort to examine any belief or supposed form of knowledge in the light of the evidence that supports it and the further conclusions to which it tends. Walaupun pandangan ini lebih banyak mendasarkan diri pada definisi yang dikemukan oleh John Dewey, namun beberapa poin yang sangat esensial dapat dijelaskan. Suatu sikap yang ingin mempertimbangkan berbagai masalah berdasarkan pengalaman seseorang dengan cara yang bijaksana menunjukkan bahwa berpikir kritis itu bukan hanya menghadirkan suatu sikap keinginanan untuk mempertimbangkan sesuatu dalam menyelesaikan masalah, melainkan juga harus dilakukan dengan cara yang bijaksana dan tenggang rasa. Begitu pula dengan pengetahuan tentang metode penyelidikan dan alasan logis menunjukkan bahwa untuk berpikir kritis diharuskan adanya pemahaman yang dalam tentang cara-cara ilmiah dan rasional untuk memproduksi dan menghasilkan sesuatu. Tidak hanya itu saja, diperlukan keterampilan untuk menerapkan metode-metode tersebut. Ketiga, definisi yang dianggap paling banyak digunakan secara luas, yakni pandangan Robert Ennis tentang berpikir kritis, di mana dikatakan bahwa “critical thinking is reasonable, reflective thinking that is focused on deciding what to believe and do.” Frase reasonable dan reflective nampaknya tidak menunjukkan adanya perbedaan yang mencolok dengan dua definisi sebelumnya, tetapi pernyataan deciding what to believe and do menunjukkan bahwa bagi Ennis membuat keputusan merupakan bahagian yang tak terpisahkan dengan cara berpikir kritis. Keempat, berpikir kritis yang ditinjau dari perspektif filsafat oleh Richard Paul, yang memandang bahwa berpikir kritis itu adalah berpikir tentang pikiran itu sendiri. Secara lengkap dikatakan bahwa: Critical thinking is that mode of thinking – about any subject, content, or problem – in which the thinker improves the quality of his or her thinking by skillfully taking charge of the structures inherent in thinking and imposing intellectual standards upon them. Salah satu hal yang sangat menarik untuk digarisbawahi dalam pernyataan ini adalah thinking about the quality of thinking (berpikir tentang kualitas berpikir). Dengan kata lain dapat dinyatakan berpikir tentang pikirannya seseorang atau sering disebut dengan istilah metakognisi (metacognition). Bagi Paul, berpikir kritis itu adalah bermetakognisi. Berdasarkan definisi tersebut di atas, maka berpikir kritis itu adalah (1) proses berpikir aktif untuk mengkaji hakekat dari suatu objek, (2) memahami secara komprehensif tentang berbagai pendekatan yang digunakan sehingga muncul suatu keyakinan yang kuat (pendekatan langsung, observasi langsung, wawancara mendalam, dan lain-lain), (3) membuat alasan rasional tentang objek yang dikaji, (4) membuat asumsi-asumsi yang dikonstruksi berdasarkan pertimbangan dari berbagai alasan rasional, (5) mengungkap kandungan makna dengan merumuskan ke dalam bahasa yang sesuai dan bijaksana, (6) mengungkap bukti-bukti empiris dari setiap makna kata-kata yang telah dirumuskan, (7) membuat keputusan berdasarkan kajian mendalam dari bukti-bukti empiris yang ada, dan (8) mengevaluasi implikasi dari hasil keputusan yang dibuat (berpikir tentang kualitas berpikir, metacognition). Sering orang membayangkan bahwa aktivitas pembelajaran berpikir kritis dianggap sangat sulit diterapkan pada kelas-kelas rendah atau bahkan di lingkungan sekolah dasar. Anggapan demikian tidak lah demikian jika materi dan tahapan-tahapan berpikir kritis itu dapat disederhanakan atau disesuaikan dengan kemampuan peserta didik. Tujuan Melalui aktivitas pembelajaran berpikir kritis, peserta didik dapat: a. Memahami dan menguasai tahapan-tahapan dalam berpikir ilmiah. b. Mengkaji suatu objek secara komprehensif dengan melibatkan proses berpikir aktif dan reflektif. c. Mempelajari sesuatu secara sistematis dan terorganisir dalam menemukan inovasi dan solusi orisinal. d. Membangun argumen dan opini berdasarkan bukti-bukti empiris dan alasan yang rasional e. Membuat keputusan dengan mempertimbangkan berbagai komponen secara adil dan bijaksana. Bahan/alat - Alat tulis-menulis - pencil - Fulpen - buku catatan - kapur/spidol - papan tulis atau computer - LCD projector atau software - buku teks atau bahan ajar Prosedur a. Guru memberikan peserta didik tugas atau bahan ajar yang akan dikaji. b. Guru menyampaikan aturan main dalam mengkaji bahan ajar tersebut (boleh dilakukan secara kelompok atau mandiri). c. Peserta didik (secara kelompok atau mandiri) mengidentifikasi hakekat dari objek yang dikaji d. Peserta didik menggunakan sudut pandang atau menentukan pendekatan yang digunakan dalam menganalisis bahan ajar tersebut. e. Peserta didik mencari dan membuat alasan yang mendasari temuannya f. Peserta didik membuat berbagai asumsi yang mungkin terjadi (boleh menggunakan pernyataan jika………., maka…………..). g. Peserta didik merumuskan pandangannya dengan bahasa yang sesuai. h. Peserta didik menyediakan bukti-bukti empiris berdasarkan data. i. Peserta didik membuat keputusan berdasarkan bukti empiris. j. Guru dan peserta didik bersama-sama melakukan evaluasi terhadap implikasi yang ditimbulkan dari hasil keputusan tersebut.
luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com